Selasa, 22 Juni 2010

penyakit anemia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sel darah merah (SDM) atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang kira-kira berdiameter 8 pm, tebal bagian tepi 2 gm dan ketebalannya berkurang di bagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang (Gambar 1). Karena lunak dan lentur maka selama melewati mikrosirkulasi sel-sel ini mengalami perubahan konfigurasi. Stroma bagian luar membran sel mengandung antigen golongan darah A dan B serta faktor Rh yang menentukan golongan darah seseorang. Komponen utama SDM adalah hemoglo­bin protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2) dan mempertahankan pH normal melalui dapat intraselular. Molekul-molekul Hb terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida (globin) dan 4 kelompok heme, masing-masing mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas-yang sesuai.

Rata-rata orang dewasa memiliki jumlah SDM kira­-kira 5 juta per milimeter kubik, masing-masing SDM memiliki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dan peng­gantian normal sel darah sehari-hari. Produksi SDM dirangsang oleh hormon glikoprotein, eritropoietin, yang diketahui terutama berasal dari ginjal, dengan 10% berasal dari hepatosit hati (Dessypries, 1999). Produksi eritropoietin dirangsang oleh hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan­-perubahan tekanan O2 atmosfer, penurunan kandung­an O2 darah arteri, dan penurunan konsentrasi hemo­globin. Eritropoietin merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan maturasi sel-sel darah merah. Maturasi bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang adekuat dan penggunaannya yang sesuai, seperti vitamin B Wasam, folat, protein, zat besi, dan tembaga. Dalam keadaan adanya penyakit ginjal atau tidak ada­nya ginjal, anemia menjadi sangat berat karena hati tidak dapat memasok cukup, eritropoietin (Guyton, 2001).

Gambar 1. Eritrosit

Semua langkah sintesis hemoglobin terjadi di dalam sumsum tulang. Langkah-langkah akhir berlanjut. setelah SDM imatur dilepas ke dalam sirkulasi sebagai retikulosit.

Seiring dengan SDM yang semakin tua, sel tersebut menjadi kaku dan fragil, akhirnya pecah. Hemoglobin terutama difagosit di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang serta direduksi menjadi globin dan heme. Globin masuk kembali ke dalam kumpulan asam, amino. Besi dibebaskan dari heme, dan bagian yang lebih besar diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang untuk produksi SDM. Sisa besi disimpan di hati dan jaringan tubuh lain dalam bentuk feritin dan hemosiderin untuk digunakan di kemudian hari (Guyton, 2001). Sisa bagian heme direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan biliverdin. CO diangkut dalam bentuk karboksihemoglobin, dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi menjadi bilirubin bebas; yang kemudian perlahan-lahan dilepas ke dalam plasma, tempat bilirubin bergabung dengan albumin plasma kemudian ke dalam sel-sel hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli empedu (Ganon& 1999). Bila ada penghancuran aktif sel-sel darah merah seperti pada hemolisis, pelepasan bilirubin secara cepat dalam jumlah besar ke dalam cairan ekstraselular menyebabkan wama kekuningan kabur pada kulit dan konjungtiva yang disebut ikterus (Guyton, 2001).

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah “Apakah yang dimaksud dengan penyakit gangguan sel darah merah (anemia) dan bagaimana patofisiologi dari penyakit anemia?”

C. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui secara mendetail tentang penyakit gangguan sel darah merah (anemia)

2. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit anemia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Anemia

Menurut defenisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas hemo­globin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melalrdcw suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan korfirmasi laboratorium.

Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung pada (1) kecepatan timbulnya anemia, (2) usia individu, (3) mekanisme kompensasi, (4) tingkat aktivitasnya, (5) keadaan penyakit yang mendasarinya, dan (6) beratnya anemia.

Karena jumlah efektif SDM berkurang, maka pengftimanO2kejaringan menurun. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan, mengakibatkan gejala-gejala hipovolemia dan hipoksemia, termasuk kegelisahan, diaforesis (keringat dingin), takikardia, napas pendek, dan berkembang cepat menjadi kolaps sirkulasi atau syok. Namun, berkurangnya massa SDM dalam waktu beberapa bulan (bahkan pengurangan sebanyak 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi, dan pasien biasanya asimtomatik, kecuali pada kerja fisik berat. Tubuh beradaptasi dengan (1) meningkatkan curah jantung dan pernapasan, oleh karena itu meningkatkan pengirimano2ke jaringan­jaringan oleh SDM, (2) meningkatkan pelepasan 02 oleh Vemoglobin, (3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan, dan (4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital (Guyton, 2001).

Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman 02 ke organ-organ vital. Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan, dan membran mukosa, mulut serta konjungtiva merupakan indikator yang lebih baik untuk menilai pucat. Jika lipatan tangan tidak lagi berwarna merah muda, hemoglobin biasanya kurang dari 8 gram.

Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran darah) mencerminkan bebarr kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina (nyeri dada), khususnya pada orang tua dengan stenosis koroner, dapat disebabkan oleh iskemia miokardium. Pada anemia berat, gagal jantung kongestif dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bemapas), napas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman 02. Sakit kepala, pusing, pingsan, dan tinitus (telinga berdengung) dapat men­cerminkan berkurangnya oksigenasi pada sistem saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala-gejala saluran cema seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare, dan stomatitis (nyeri pada lidah' dan membran mukosa mulut); gejala-gejala umuriinya r; isebabkan oleh keadaan defisiensi, seperti defisiensi zat besi.

B. Klasifikasi Anemia

Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) faktor­-faktor morfologik SDM dan indeks-indeksnya ata (2) etiologi.

Gambar 2. Sifat-sifat anemia makrositik pada darah perifer. Pada sebelah kanan atas, sel-sel darah merah tidak bulat seragam (Polkilositosis) seperti pada Gambar1., dan ukurannya berlainan (anisositosis). Sebaglan besar sel berukuran normal atau terlalu besar. Sel-sel darah merah yang besar dan oval yang terlihat di sebelah kiri bawah disebut ovalomakrosit. Sel-sel ini khas pada defisiensi vitamin B12 dan folat

Pada klasifikasi morfologik anemia, mikro- atau makro- menunjukkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga kategori besar. Pertama, anemia normokromik normositik, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jtxmlah hemoglobin normal (mean corpus­cular volume [MCV] dan mean corpuscular hemoglobin concentration [MCHC] normal atau normal rendah). Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, ke­gagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.

Kategori utama yang kedua adalah anemia normo­kromik makrositik, yang memiliki SDM lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemo­globin normal (MCV meningkat; MCHC normal) (Gambar 2). Keadaan ini disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi B,, atau asam folat atau keduanya. Anemia normokromik dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-agen mengganggu sintesis DNA.

Kategori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik (Gambar 3). Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-sel ini mengandung he­moglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (penurunan MCV; penurunan MCHC). Keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesis globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia menyangkut ketidak­sesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintesis, dengan demikian tidak dapat terbentuk molekul he­moglobin tetramer normal.

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang dipikirkan adalah (1) peningkatan hilangnya SDM dan (2) penurunan atau kelainan pembentukan sel.

Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Per­darahan dapat diakibatkan dari trauma atau ulkus atau akibat perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid atau menstruasi. Penghancuran .SDM di dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada SDM - itu sendiri memper­pendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan peng­hancuran SDM (kelainan ekstrinsik) (Sacher, McPherson, 2000). Keadaan-keadaan yang SDM-nya itu sendiri mengalami kelainan adalah:

  1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, seperti, penyakit sel sabit.
  2. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia.
  3. Kelainan membran SDM, seperti sferositosis herediter dan eliptositosis.
  4. Defisiensi enzim, seperti defisiensi.glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase.

Gangguan yang disebut di atas bersifat herediter. Namun, hemolisis dapat juga disebabkan oleh masalah-masalah lingkungan SDM, yang sering memerlukan respom imun. Respon isoimun yang mengenai individu-individu berbeda dengan spesies yang sama dan disebabkan oleh transfusi darah yang tidak cocok. respon autoimun terdiri atas produksi antibody terhadap sel-sel darah merah tubuh sendiri. Anemia hemolitik autoimun dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya setelah pemberian obat-obatan tertentu, seperti alfa-metildopa, quinine, sulfonamide, atau L-Dopa, atau pada keadaan-keadaan penyakit lain, seperti limfoma limfositik kronis, lupus eritema hemolitik autoimun diklasifikasikan menurut suhu saat antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah-antibodi tipe hangat atau anti bodi tipe dingin.

Gambar 3. Sifat khas eritrosit anemia hipkremik

Malaria merupakan penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Malaria mengakibatkan anemia hemolitik berak ketika SDM diinfeksi oleh parasit Plasmodium, yang menyebabkan kelainan sehingga permukaan SDM menjadi tidak teratur. Kemudian SDM yang mengalami kelainan segera dikeluarkan dari sirkulasi oleh limpa (Goldsmith, 2001; Beutler, 2001).

Hiperplenisme (pembesaran limpa) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat peningkatan nyata SDM yang terperangkap dan hancur. Karena limpa yang membesar mengisolasi semua jenis sel darah, seorang pasien dengan dipersplenia akan memperlihatkan adanya pensitopenia akan memperlihatkan adanya pensitomia dan sumsum tulang yang normal atau hiperseluler. Luka bakar berat, terutama saat bantalan kapiler pecah dapat menyebabkan hemolisis. Katub jantung buatan juga menyebabkan hemolisis oleh destruksi mekanis (Linker, 2001).

Klasifikasi etiologik utama yang kedua adalah berkurangnya atau terganggunya produksi SDM (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sum-sum tulang termasuk di dalam kategori ini. termasuk di dalam kelompok ini adalah (1) keganasan jaringan padat merastatik, leukemia, limfoma, dan mieloma multipel; pajanan terhadap obat-obat dan zat-zat kimia toksik; serta tradisi dapat mengurangi produksi efektif SDM; dan (2) penyakit-penyakit kronis yang mengenai ginjal dan hari, serta infeksi dan defisiensi endokrin. Kekurangan vitamin-vitamin penting, seperti B12, asam folat, vitamin C, dan zat besi dapat mengakibatkan pembentukan SDM tidak efektif, menimbulkan anemia. Untuk menentukan jenis anemia, baik pertimbangan morfologik dan etiologic harus digabungkan.


C. Kelainan Hematologis

Pertama-tama akan diperoleh hasil pemeriksaan kadar hemoglobin yang rendah. Dalam menilai rendahnya kadar hemoglobin perlu diperhati­kan keadaan hidrasi dari pasien. Dalam keadaan hidremia maka kadar Hb yang rendah bukan karena anemia akan tetapi karena hemodilusi (anemia spuria).

Melakukan pemeriksaan rutin lain yaitu memeriksa jumlah lekosit dan trombosit. Apabila didapatkan angka yang rendah maka anemia mungkin disebabkan anemia aplastik atau hipersplenisme.

Menghitung jumlah retikulosit dineriukan untuk mengeva­luasi kemampuan regenerasi dari sumsum tulang. Pada seorang anemia maka jumlah retikulosit harus diperiksa nilai absolutnya.

Nilai absolut retikulosit adalah jumlah prosentase retikulosit dikalikan dengan jumlah eritrosit.

Pemeriksaan nilai-nilai absolut (Wintrobe) yang terdiri dari M.C.V., M.C.H., dan M.C.H.C. diperlukan untuk meng­evaluasi morfologi dari anemianya.

MCV yang tinggi menggambarkan anemia makrositer sedang MCV yang rendah dengan MCHC yang rendah pula akan ditemukan pada anemia hipokrom mikrositer (anemia defi­siensi besi).

Tentunya nilai-nilai absolut yang normal menggambarkan anemia yang normositer.

Yang penting dalam menentukan morfologi dari anemia adalah pemeriksaan sediaan hapus tepi. Pemeriksaan ini tentu memerlukan pengalaman dalam mengevaluasi morfologi eritrosit dalam darah tepi. Pemeriksaan penunjang lain seperti analisis urine, pemeriksaan faeces, dan pemeriksaan biokimia lain penting dalam membantu menegakkan diag­nosaetiologi dari aneminya.

D. Diagnosis

Anemia bukan merupakan diagnosa dari sesuatu penya­kit. Anemia selalu merupakan salah satu gejala dari penyakit. Oleh karenanya apabila kita telah menentukan bahwa seorang pasien menderita anemia maka menjadi kewajiban kita selanjutnya menentukan etiologi dari anemianya.

Anemia dapat diklasifikasi berdasarkan morfologi atau berdasarkan klasifikasi kinetik. Pada klasifikasi morfologi dikenal tiga golongan anemia yaitu: anemia normokrom normositer, an. makrositer, dan anemia hipokrom mikrositer.

Anemia normokrom normositer dapat ditemukan pada anernia hemolisis otoitroin, anemia pada penyakit kronis, anemia pada penyakit ginjal, sirosis hati dan lain-lain. Anemia makrositer ditemukan pada an, pernisosa, defisiensi asam folat, sindroma malabsorpsi dan lain-lain. Anemia hiprokom mikrositer pada anemia defisiensi besi, hemoglo­binopati (thalassemia).

Klasifikasi secara morfologi ini yang biasa dipakai dalam klinik sedang klasifikasi kinetik tidak lazim dipakai dan tidak akan dibahas lebih lanjut.


E. Terapi

Terapi tentu harus ditujukan terhadap etiologi dari penyakitnya. Anemia difisiensi besi yang pada orang dewasa selalu disebabkan karena kehilangan darah secara kronis maka pengobatan ditujukan terhadap sumber perdarahannya keganasan gastrointestinal, haemorhoid, ankilostomiasis, dan lain-lain). Kemudian batu diberikan preparat Fe secara adekuat. Jadi pada umumnya terapi akan diberikan terhadap etiologi dari aneminya.

Dalam keadaan hipoksi berat sering harus dilakukan tindakan suportif dengan pemberian transfusi darah atau komponen darah.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan :

1. Berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas hemo­globin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi, berdasarkan morfologi atau berdasarkan klasifikasi kinetik.

2. Anemia bukan merupakan diagnosa dari sesuatu penya­kit. Anemia selalu merupakan salah satu gejala dari penyakit. Oleh karenanya apabila kita telah menentukan bahwa seorang pasien menderita anemia maka menjadi kewajiban kita selanjutnya menentukan etiologi dari anemianya.

B. Saran

Disarankan agar kita selalu menjaga kesehatan.


DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylfia, 2002. Patovisiologi. Jakarta: Gramedia

Ganong. 2000. Fisiologi Manusia. Jakarta: Gramedia


DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................ i

Kata Pengantar.............................................................................................................. ii

Daftar Isi ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 3

C. Tujuan ................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Anemia.................................................................................................. 4

B. Klasifikasi Anemia................................................................................ 6

C. Kelainan Hematologis......................................................................... 11

D. Diagnosis............................................................................................. 12

E. Terapi................................................................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 14

B. Saran ................................................................................................... 14

iii


KATA PENGANTAR


Asalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunianyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini , namun sebagai manusia biasa kami tidak luput dari kesalahan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi, maupun dari segi penulisan.

Oleh karena itu, melalui lembaran ini, saran dan masukan pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya dan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Dan tidak lupa pula melalui kesempatan ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kami kepada Bapak Adius Kusnan, S.Kep, M. Kes. selaku dosen mata kuliah Patovisiologi yang telah membantu memberikan arahan tentang materi mata kuliah Patovisiologi. Selain itu, kami juga menyampaikan terima kasih kami kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. AMIN

Kendari, 25 Maret 2010

ii

Kelompok I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar