Jumat, 12 November 2010

Nursing STIKES MW "ANASTESI LOKAL"





ANASTESI LOKAL

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunanian-"tidak, tanpa" dan aesthētos,"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. (Wikipedia, 2007)
Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi, dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang opthalmologist di Wina, mencatat kegunaan dari kokain suatu ester dari asam para amino benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi korneal. (Rusda, 2004)
Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine yang disintesa oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti tidak bersifat addiksi dan jauh kurang toksik dibanding kokain. Ester-ester lain telah dibuat termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan Chloroprocaine, dan semuanya terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan reaksi alergi. (Rusda, 2004)
Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obat- obat dengan berbagai keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Oleh sebab itu, sebagai mahasiswa kedokteran harus mempelajari bagaimana memilih jenis obat anastesi lokal yang akan digunakan dan cara penggunaannya.
B. Tujuan

Membandingkan efek farmakologik lidokain dengan dan tanpa adrenalin
yang diberikan secara topical pada mukosa mata kelinci.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Anastesi Lokal
Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Anastetik local sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan anastetik local memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebaba anastetik lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Zat anastetik local juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mkengalami perubahan. (Katzung, 1997)
1. Kimiawi
Umumnya obat anastesi local terdiri dari sebuah gugus lipofilik (biasanya sebuah cincin aromatic) yang berikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi (biasanya suatu amin tersier). Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik. Penambahan sifat fisik molekul, maka konfigurasi stereokimia spesifik menjadi penting, misalnya perbedaan potensi stereoisomer telah diketahui untuk beberapa senyawa. Karena ikatan ester (seperti prokain) lebih mudah terhidrolisis dari ikatan amida maka lama kerja ester biasanya lebih singkat. Anastesi local bersifat basa lemah. Untuk aplikasi terapeutik, biasanya dibuat sebagai garam agar mudah larut dan lebih stabil. Di dalam tubuh obat akan menjadi basa tanpa muatan atau sebagai kation. (Katzung, 1997)
2. Absorbsi
Absorbsi sistemik suntikan anastesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat- jaringan, adanya bahan vasokonstriktor dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anastesi local pada daerah yang kaya vcaskularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandingkan tempat yang perfusinya jelek seperti tendon. Untuk anatesi regional yang menghambat saraf yang besar kadar darah maksimum anastesi local menurun sesuai dengan tempat pemberian yaitu: interkostal (tertinggi) > caudal > epidural > pleksus brachialis > saraf ischiadicus (terendah). Bahan vasokontriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistemik anastesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan mengurangi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang masa kerjanya singkat atau lemah seperti prokain, lodokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat local yang tinggi dan efek toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya sepertiganya saja. Kombinasi pengurangan penyerapan sistemik dan peningkatan ambilan saraf inilah yang memungkinkan perpanjangan efek anastesi local sampai 50%. Vasokonstriktor kurang efektif dalam memperpanjang sifat anastesi obat yang mudah larut dalam lipid dan bekerja lama (bupivakain, etidokain) mungkin karena molekulnya sangat erat terikat dalam jaringan. Selain itu katekolamin mungkin mempengaruhi fungsi neuronal antara lain meningkatkan analgesia terutama pada medulla spinalis. (Katzung, 1997)
3. Ditribusi
Anastesi local amida disebar meluasa dalam tubuh setelah pemberian bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan lemak setelah fase distribusi awal yang cepat yang mujngkin menandakan ambilan kedalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak, hati, ginjal dan jantung, diikuti oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang seperti otot dan usus. Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe ester, maka distribusinya tidak diketahui. (Katzung, 1997)
4. Metabolisme dan Ekskresi
Anastesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anastesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diekskresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. (Katzung, 1997)
Tipe ester anastesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinesterase (Pseudocolinesterase). Oleh karena itu, obat ini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain. (Katzung, 1997)
Ikatan amida dari anastesi lokal amida dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida didalam hati ini bervariasi bagi setiap individu, perkiraan urutannya adalah prilokain (tercepat) > etidokkain > lidokain > mepivakain > bupivakain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari anestesi lokal tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Penurunan pembersihan anestesi lokal oleh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah ke hati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan dengan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propanolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida. (Katzung, 1997)
5. Mekanisme Kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan potensial transmembran sekitar -90 sampai -60 mV. Selama eksitasi, saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat ke dalam sel dengan cepat mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40 mV). Sebagai akibat depolarisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah

Senin, 25 Oktober 2010

Nursing '09 STIKES MW "Askep Diabetes Mellitus"


ASKEP DIABETES MELLITUS
Posted on Oktober 25th 2010 by ahmad mudatsir
1.Pengertian diabetes mellitus

- Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. (Barbara C. Long)
- Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat. (Brunner dan Sudart)
- Diabetes mellitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (WHO).
- Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002).
2.Etiologi
Etiologi dari diabetes mellitus tipe II sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti dari studi-studi eksperimental dan klinis kita mengetahui bahwa diabetes mellitus adalah merupakan suatu sindrom yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu penyebab yang mendasarinya.
Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap penyebab yaitu :
a.Faktor genetik
Riwayat keluarga dengan diabetes :
Pincus dan White berpendapat perbandingan keluarga yang menderita diabetes mellitus dengan kesehatan keluarga sehat, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita diabetes mellitus mencapai 8, 33 % dan 5, 33 % bila dibandingkan dengan keluarga sehat yang memperlihatkan angka hanya 1, 96 %.
b.Faktor non genetik
1.)Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic terhadap diabetes mellitus.
2.)Nutrisi
a.)Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.
b.)Malnutrisi protein
c.)Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.
3.)Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
4.)Hormonal Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi, akromegali karena jumlah somatotropin meninggi, feokromositoma karena konsentrasi glukagon dalam darah tinggi, feokromositoma karena kadar katekolamin meningkat

3.Klasifikasi

Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa type yaitu :
a.Diabetes mellitus type insulin, Insulin Dependen diabetes mellitus (IDDM) yang dahulu dikenal dengan nama Juvenil Onset diabetes (JOD), klien tergantung pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau usia muda dapat disebabkan karena keturunan.
b.Diabetes mellitus type II, Non Insulin Dependen diabetes mellitus (NIDDM), yang dahulu dikenal dengan nama Maturity Onset diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :
1.)Non obesitas
2.)Obesitas
Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pankreas, tetapi biasanya resistensi aksi insulin pada jaringan perifer.
Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau anak dengan obesitas.
c.Diabetes mellitus type lain
1.)diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan hormonal, diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan lain-lain.
2.)Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain :
Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik
3.)diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.

4.Patofisiologi

Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut : (1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml. (2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter sampai setinggi 10 Meq/Liter.

5.Gambaran Klinik

Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
a.Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b.Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c.Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e.Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
6.Diagnosis

Diagnosis diabetes mellitus umumnya dipikirkan dengan adanya gejala khas diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsi, poliphagia, lemas dan berat badan menurun. Jika keluhan dan gejala khas ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang lebih 216 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa

7.Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin.
Pada penderita dengan diabetes mellitus harus rantang gula dan makanan yang manis untuk selamanya. Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
J I : jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan.
J 2 : jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
J 3 : jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).
Diet pada penderitae diabetes mellitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a.Diet A : terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50 %, lemak 30 %, protein 20 %.
b.Diet B : terdiri dari karbohidrat 68 %, lemak 20 %, protein 12 %.
c.Diet B1 : terdiri dari karbohidrat 60 %, lemak 20 %, protein 20 %.
d.Diet B1 dan B¬2 diberikan untuk nefropati diabetik dengan gangguan faal ginjal.
Indikasi diet A :
Diberikan pada semua penderita diabetes mellitus pada umumnya.
Indikasi diet B :
Diberikan pada penderita diabetes terutama yang :
a.Kurang tahan lapan dengan dietnya.
b.Mempunyai hyperkolestonemia.
c.Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya pernah mengalami cerobrovaskuler acident (cva) penyakit jantung koroner.
d.Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya terdapat retinopati diabetik tetapi belum ada nefropati yang nyata.
e.Telah menderita diabetes dari 15 tahun
Indikasi diet B1
Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, yaitu penderita diabetes terutama yang :
a.Mampu atau kebiasaan makan tinggi protein tetapi normalip idemia.
b.Kurus (underweight) dengan relatif body weight kurang dari 90 %.
c.Masih muda perlu pertumbuhan.
d.Mengalami patah tulang.
e.Hamil dan menyusui.
f.Menderita hepatitis kronis atau sirosis hepatitis.
g.Menderita tuberkulosis paru.
h.Menderita penyakit graves (morbus basedou).
i.Menderita selulitis.
j.Dalam keadaan pasca bedah.
Indikasi tersebut di atas selama tidak ada kontra indikasi penggunaan protein kadar tinggi.
Indikasi B2 dan B3
Diet B2
Diberikan pada penderita nefropati dengan gagal ginjal kronik yang klirens kreatininnya masih lebar dari 25 ml/mt.
Sifat-sifat diet B2
a.Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari tetapi mengandung protein kurang.
b.Komposisi sama dengan diet B, (68 % hidrat arang, 12 % protein dan 20 % lemak) hanya saja diet B2 kaya asam amino esensial.
c.Dalam praktek hanya terdapat diet B2 dengan diet 2100 – 2300 kalori / hari.
Karena bila tidak maka jumlah perhari akan berubah.
Diet B3
Diberikan pada penderita nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik yang klibers kreatininnya kurang dari 25 MI/mt
Sifat diet B3
a.Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari).
b.Rendah protein tinggi asam amino esensial, jumlah protein 40 gram/hari.
c.Karena alasan No 2 maka hanya dapat disusun diet B3 2100 kalori dan 2300 / hari. (bila tidak akan merubah jumlah protein).
d.Tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
e.Dipilih lemak yang tidak jenuh.
Semua penderita diabetes mellitus dianjurkan untuk latihan ringan yang dilaksanakan secara teratur tiap hari pada saat setengah jam sesudah makan. Juga dianjurkan untuk melakukan latihan ringan setiap hari, pagi dan sore hari dengan maksud untuk menurunkan BB.
Penyuluhan kesehatan.
Untuk meningkatkan pemahaman maka dilakukan penyuluhan melalui perorangan antara dokter dengan penderita yang datang. Selain itu juga dilakukan melalui media-media cetak dan elektronik.
8.Komplikasi

a.Akut
1.)Hypoglikemia
2.)Ketoasidosis
3.)Diabetik
b.Kronik
1.)Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
2.)Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retinopati diabetik, nefropati diabetic.
3.)Neuropati diabetic.
B.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan keluarga, untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses terapeutik maka perawat melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan.
Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan intervensi mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan dengan proses keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.

1.Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan diabetes mellitus :
a.Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
b.Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
c.Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
d.Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
e.Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
f.Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
g.Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
h.Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
i.Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.
2.Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus yaitu :
a.Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b.Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
c.Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
d.Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
e.Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
f.Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
g.Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
3.Rencana Keperawatan
a.Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan :
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : Hypovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
2.)Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
3.)Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
Rasional : Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan.
4.)Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
5.)Berikan terapi cairan sesuai indikasi.
Rasional : Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons pasien secara individual.

b.Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Tujuan :
Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
Menunjukkan tingkat energi biasanya
Berat badan stabil atau bertambah.
Intervensi :
1.)Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
2.)Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya).
3.)Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
4.)Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan rasa keterlibatannya; memberikan informasi pada keluarga untuk memahami nutrisi pasien.
5.)Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi.
Rasional : Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel.

c.Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Tujuan :
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi :
1).Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
Rasional : Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
2).Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
Rasional : Mencegah timbulnya infeksi silang.
3).Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
Rasional : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
4).Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
Rasional : Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi.
5).Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.

d.Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
Rasional : Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal
2.)Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
Rasional : Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
3.)Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
Rasional : Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya.
4.)Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.

e.Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
Tujuan :
Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :
1.)Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
2.)Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3.)Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.
Rasional : Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
4.)Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi.

f.Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan :
Mengakui perasaan putus asa
Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi :
1.)Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
Rasional : Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.
2.)Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
Rasional : Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping.
3.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
4.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.

g.Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.
Tujuan :
Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan.
Intervensi :
1.)Ciptakan lingkungan saling percaya
Rasional : Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.
2.)Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup.
3.)Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
Rasional : Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/mentaati program.
4.)Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat.
Rasional : Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat.

Minggu, 24 Oktober 2010

Nursing STIKES MW "FARMAKOLOGI"

FARMAKOLOGI
A. Definisi psikotropik
Psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan pikiran yang biasa digunakan dalam bidang psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa. Sedangkan psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari kimiawi, mekanisme kerja serta farmakologi klinik dari psikotropik. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak ditemukannya reserpin dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik. Sekarang psikofarmakologi menjadi titik pertemuan antara cabang ilmu klinik dan preklinik yaitu: farmakologi, fisiologi, biokimia, genetika, serta ilmu biomedik lain. Berbeda dengan antibiotik, pengobatan dengan psikotropik bersifat sintomatik dan lebih didasarkan atas pengetahuan empirik.

Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu:
1. Antipsikosis (major traquilizer neuroleptik)
2. Antiansietas (minor traquilizer)
3. Antidepresi
4. Antimania (mood stabilizer)

A. Antipsikosis bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting obat antipsikosis ialah :
1. Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresifitas, hiperaktifitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis.
2. Dosis besar tidak menyebabkankoma yang dalam ataupun anestesia.
3. Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang reversibel atau ireversibel.
4. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis.
Antipsikosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti:
 Antipsikosis tipikal: klorpromazin dan derivat fenotiazin.
Prototip kelompok ini adalah klorpromazin (CPZ). Pembahasan terutama mengenai CPZ karena obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis.
Kimia : klorpromazin (CPZ) adalah 2-klor-N-(dimetil-aminopropil)-fenotiazin. Derivat fenotiazin lain didapat dengan cara substitusi pada tempat 2 dan 10 inti fenotiazin.
Farmakodinamik : efek farmakologik klorpromazin dan antispikosis lainya meliputi efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor, diantaranya dopamin, muskarinik, histamin H1.
Susunan saraf pusat : CPZ menimbulkan sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsangan dari lingkungan. Pada pemakian lama dapat timbul toleransi terhadap efek oksidasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat.
Neurologik : pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme.
Otot rangka : CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot rangka yang berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral, sebab sambungan saraf otot dan medulla spinalis tidak dipengaruhi CPZ.
Efek endokrin : CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainya mempunyai efek samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenore, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan ginokomastia.
Kardiofaskular : hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istrahat biasanya sering terjadi dengan derivat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata resistensi perifer, curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat.
Farmakokinetik : kebanyakan antipsikosis absorbsi sempurna, sebagian diantaranya mengalami metabolisme lintas pertama. Biovailabilitas klorpromazin dan tioridazin berkisar antara 25-35% sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma(92-99%) serta mamiliki volume distribusi besar ( >7 L/kg). Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu setelah pemberian obat terakhir.
Efek samping : batas keamanan CPZ cukup lebar sehingga obat ini cukup aman. Efek samping umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi mungkin timbul berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer.
Sedian : klorpromazin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. Selain itu juga tersedia dalam bentuk larutan suntik 25 mg/ml.
 Antipsikosis atipikal: olanzapin
Farmakodinamik : olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazetin, struktur kimianya mirip dengan klozapin. Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, reseptor serotonin dan histamin.
Farmakokinetik : olanzapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian obat, dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme di hepar oleh enzim CYP 2D6, dan diekskresi leawt urin.
Indikasi : indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun positif skizofenia dan sebagi antimania. Obat ini menunjukan efektifitas pada pasien depresi dengan gejala psikotik.
Efek samping : meskipun mirip dengan klozapin, olanzapin, tidak menyebabkan agranulosi-tosis seperti klozapin.
Sediaan : olazapin tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg, dan vial 10 mg.


Antiansietas terutanma berguna untuk pengobatan simptomatik penyakit psikoneurosis (neurosis, keluhan subjektif tanpa gangguan somatik yang nyata dengan fungsi mental – kogntif tidak terganggu) dan berguna untuk terapi tambahanpenyakit somatis dengan ciri ansietas ( perasaan cemas) dan ketegangan mental.
Ansietas didefinisikan sebagai perasaan kuatir atau ketakutan yang ditandai dengan keadaan fisik seperti palpitasi, berkeringat dan tanda-tanda sters lainnya. Contoh dari antiansietas yaitu :
• Golongan benzodiazepin.
Benzodiazepin yang dianjurkan sebagai antisietas adalah : klordiazepoksid.
Farmakodinamik : klordiazepoksid dan diazepam merupakan prototip derivat benzodiazetin yang digunakan secara meluas sebagai antiasietas.
Mekanisme kerja : mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neoron dengan GABA sebagai mediatornya.
Efek samping dan kontra indikasi : pada gangguan dosisterapi jarang timbul kantuk, tetapi pada pakar lajak benzodizepin menimbulkan depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat berupa kantuk dan ataksia merupakan kelanjutan efek farmakodinamik. Derivat benzodiazepin sebaiknya jangan diberikan bersama alkohol, barbiturat atau fenotiazin. Kombinasi ini menimbulkan efek depresi yang berlebihan. Pada pasien gangguan pernapasan benzodiazepin dapat memperberat gejala sesak nafas.
Indikasi dan sediaan : derifat benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai ansietas juga digunakan sebagai hipnotik, antikonfulsi, pelemas otot dan induksi anestesi umum.
Toleransi dan ketergantungan fisik : keadaan ini dapat terjadi bila benzodiazepin diberikan dalam dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama. Jadi pemberian golongan obat ini lebih dari 3 minggu sebaiknya dihindari.
 Penggolongan psikotropik :
1. Antipsikosis
a. Anipsikosis tipikal golongan fenotiazin : klorpromazin, flufenazin, perfenazin, tioridazin trifluperazin.
b. Antipsikosis tipikal golongan lain: klorprotiksen, droperidol, haloperidol, loksapin, molindon, tioktiksen.
c. Antipsikosis atipikal: klozapin, olanzapin, risperidon, quetiapain, sulpirid, ziprasidon, aripriprazol, zotepin.
2. Antiansietas
a. Golongan benzodiazepin: diazepam, alprazolam, klordiazepoksid, klonazepam.
b. Golongan lain: buspiron, zolpidem.

3. Antidepresi
a. Golongan trisiklik: imipramin, imitripilin,
b. Golongan heterosiklik(generasi keua dan ketiga): amoksatin, maprotilin, trazodon.
c. Golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs): fluoseptin, paroksetin, setralin.
d. Penghambat MAO: isokarbosazid, fenelzin.
e. Golongan serotonin neropinephrin reuptake inhibitopr(SNRI): venlafaksin.
4. Antimania (mood stabilizer)
a. Litium
b. Antimania lain : karbamazepin, asam valproat
5. Psikotogenik
• Meskalin
Meskalin merupakan suatu alkaloid yang berasal dari tumbuhan kaktus di amerika utara dan meksiko. Meskalin digunakan untuk orang indian dalam ritus keagamaan untuk mendatangkan trance. Meskalin hanya digunakan dalam penelitian untuk menyelidiki keadaan yang menyerupai psikosis, tidak untuk terapi atau diagnostik.
• Dietilamid asam lisergat dan marijuana (ganja).
Antidepresi adalah obat untuk mengatasi atau mencegah depresi mental. Depresi didefenisikan sebagai gangguan mental dengan penurunan mood, kehilangan minat atau persaan senang, adanya perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tiodur atau penurunan selera makan, sulit kosentrasi atau kelemahan fisik(WHO, 2006.). gangguan ini dapat menjadi kronik atau kambuh dan mengganggu aktifitas pasien. Pada keadaan terburuk dapat mencetuskan bunuh diri, suatu kejadian fatal yang dewasa ini semakin terjadi.
Antidepresi dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti :
a. Golongan trisiklik: imipramin, imitripilin,
Farmakodinamik : sebagian efek farmakodinamik antidepresi trisiklik mirip efek tromazin.
Efek psikologik : pada manusia normal imipramin menimbulkan rasa lelah, obat tidak meningkatkan alam perasaan dan meningktkan rasa cemas.
Susunan saraf otonom : imipramin jelas sekali memperlihatkan efek antimuskarinik, sehingga dapat terjadi penglihatan kabur, mulut kering, dan retensi urin.
Kardiofaskuler : pemberian imipramin dalam dosis terapi pada manusia sering menimbulkan hipotensi ortostatik. Dalam dosis toksis, imipramin dapat menimbulkan aritmia dan takikardia.
Efek samping : efek dari obat ini berupa perasaan lemah, hipertensi, dan hiperperiksia.

b. Golongan heterosiklik(generasi keua dan ketiga): amoksatin, maprotilin, trazodon.
c. Golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs): fluoseptin, paroksetin, setralin.
d. Penghambat MAO: isokarbosazid, fenelzin.
e. Golongan serotonin neropinephrin reuptake inhibitopr(SNRI): venlafaksin.
Antimania atau mood stabilizer adalah obat yang kerjanya terutama mencegah naik turunya mood pada pasien gangguan bipolar (sindrom manik-depresi). Litium karbonat merupakan prototip obat golongan ini.
Contoh dari antimania yaitu: litium.
Farmakokinetik : absorbsi lengkap dalam 6-8 jam, kadar plasma dapat dicapai dalam 20 menit sampai 2 jam. Volume distribusi 0,5L/kg, ekkresi terutama lewat urin dengan waktu paro eliminasi 20 jam.
Indikasi : sampai saat ini litium karbonat dikenal sebagfai obat untuk gangguan bipolar terutama pada fase manik dan untuk pengobatan penunjang. Pengobatan jangka panjang terbukti menurunkan insiden percobaan bunuh diri.
Efek samping : indeks terapi litium rendah, maka untuk pemberian yang aman perlu dilakukan pemantauan dalam plasma atau serum. Pemeriksaan ini dilakukan 10-12 jam setelah dosis terakhir. efek samping yang terjadi terutama pada saraf tremor, juga dapat menurunkan fungsi tiroid.
Dosis dan sediaan : litium diberikan dalam dosis terbagi untuk mencapai kadar yang dianggap aman yaitu berkisar antra 0,8-1,25mEq per liter.ini dicapai dengan pemberian 900-1500 mg litium karbonat pada pasien berobat jalan dan 1200-2400 mg sehari pada pasien yang dirawat.

Blog STIKES MW "Fisiologi Konsep Nyeri"

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu membutuhkan rasa nyaman. Kebutuhan rasa nyaman ini dipersepsikan mempunyai banyak uang. Ada juga yang indikatornya apabila tidak ada gangguan dalam hidupnya. Dalam konteks asuhan keperawatan ini, maka perawat harus memperhatikan dan memenuhi rasa nyaman. Gangguan rasa nyaman yang yang dialami klien diatasi oleh perawat dengan melakukan intervensi keperawatan.
Kondisi yang menyebabkan ketidaknyamanan klien adalah nyeri. Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual. Klien merespons terhadap nyeri yang dialaminya dengan beragam cara, misalnya berteriak, meringis, dan lain-lain. Oleh karena nyeri bersifat subjektif, maka perawat mesti peka terhadap sansasi nyeri yang dialami klien. Untuk itu, diperlukan kemampuan perawat dalam mengidentifikasi dan mengatasi rasa nyeri.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah kami ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep dasar dan keadaan terkait dari fisiologi nyeri ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen pengajar mata kuliah Patologi dan agar kami sebagai mahasiswa keperawatan mengetahui konsep dasar dan keadan terkait dari fisiologi nyeri.
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Dasar Nyeri
Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
Serabut saraf A-delta :
§ Merupakan serabut bermyelin
§ Mengirimkan pesan secara cepat
§ Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya
§ Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti , otot tendon dll
§ Biasanya sering ada pada injury akut
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Serabut saraf C :
§ Tidak bermyelin
§ Diameternya sangat kecil
§ Lambat dalam menghantarkan impuls
§ Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten
§ Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan halus
§ Reseptor terletak distruktur permukaan.
NEUROREGULATOR
§ Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan penting pada pengalaman nyeri
§ Substansi ini titemukan pada nocicepÃ¥tor yaitu pada akhir saraf dalam kornu dorsalis medula spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik
Neuroregulator ada dua macam yaitu neurotransmitter dan neuromodulator
§ Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara dua serabut saraf
contoh: substansi P, serotonin, prostaglandin
§ Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf yang melalui synaps.
Contoh: endorphin, bradikinin
§ Neuromodulator diyakini aktifitasnya secara tidak langsung bisa meningkatkan atau menurunkan efek sebagian neurotransmitter


Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005) .


Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya.

Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.


2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.


3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik




3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.


Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual. Dikatakan individual karena respon individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Hal tersebut yang menjadi alasan bagi tenaga perawat dalam mengatasi nyeri pada pasien atau klien.












Daftar Pustaka
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan, Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika
Guyton. Arthur C. (1990). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta : EGC
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Minggu, 26 September 2010

Makalah Komunikasi Umum STIKES MW Kendari

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare, yang artinya memberi kabar atau mengabarkan ( to impart ), mengambil bagian ( to participate ) dan memberi dan membagikan informasi sesuatu kepada yang lain (to convey an share information about )
Komunikasi adalah suatu aksi yang sifatnya timbal balik saling memberi kabar, informasi,, tukar pikiran ( dialog, diskusi ), yang menampakan sikap , tindakan dan emosi pada manusia yang terlibat di dalamnya. Komunikasi merupakan sesuatu hal yang tidak pernah dapat dilepaskan dari setiap aspek kehidupan manusia ( tindakan, perilaku manusia ).
Komunikasi dalam bidang keperawatan adalah Proses untuk menciptakan hubungan Perawat Pasien atau dengan tenaga kesehatan lainnya, dan untuk mengenal kebutuhan Pasien serta menentukan rencana tindakan dan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan tersebut
Perawat kesehatan mempunyai fungsi / peran sebagai pelaksana perawatan, penge lola perawatan, pendidik dan pengembang ilmu keperawatan. Dari keempat unsur fungsi yang melekat pada diri seorang perawat kesehatan dan yang secara langsung berhubungan dengan intervensi keperawatan adalah fungsi pelaksana perawatan dan pengelola perawatan Seroang perawat kesehatan dalam melakukan intervensi keperawat-an harus dilakukan secara komprehensif dan sekaligus holistik. Pada saat itulah komunika si therapeutik seyogyakanya dipergunakan pada setiap intervensi kepada pasien, interper sonal skill seorang perawat kesehatan dalam berkomunikasi menjadi suatu tuntutan yang harus dipunyai .

Hal yang harus selalu diingat oleh setiap orang perawat kesehatan adalah pasien datang ke ruma sakit mau berobat / dirawat tujuan utamanya sembuh dari penyakit yang diderita dalam waktu yang cepat. Hal yang juga harus selalu diingat bahwa seorang pernah mengucapkan sumpah / janji bahwa dalam setiap tindakan keperawatan yang dilakukan akan dilakukan secara profesional. Profesionalitas akan dapat terjadi bila seorang perawat selalu menyadari akan profesinya dan profesi akan menjadi profesionalitas bila seorang perawat selalu mampu memadukan kemampuan kognitif, afektif, psychomotor dan setiap tindakannya didasari pada perspektif dan prinsip-prinsip komunikasi therapeutik.
Berdasarkan penelitian oleh Rosenstein, 2002 ; Rosenstein dan O’Daniel 2005 yang responden adalah pesiunan administrator rumah sakit yang meliputi, dokter, perawat dan tenaga staf administrasi di berbagai negara maju, antara lain di Amerika Serikat menemukan bahwa terjadi persepsi negatif terhadap ketidak puasan dan hasil perawatan disebabkan oleh komunikasi yang tidak baik yang dilakukan oleh para dokter dan perawa tan kesehatan serta staf devisi penunjang.
Komunikasi dalam bidang keperawatan adalah Proses untuk menciptakan hubungan Perawat - Pasien atau dengan tenaga kesehatan lainnya, dan untuk mengenal kebutuhan Pasien serta menentukan rencana tindakan dan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan tersebut
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Komunikasi yang terjadi dalam hubungan perawat dengan klien (pasien).
C. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana Komunikasi Dalam Keperawatan
2. Untuk mengetahui bagaimana Komunikasi Interpesonal Dalam Perawatan
3. Untuk mengetahui bagaimana Gaya KomunikasiPengertian Komunikasi Therapeutik.
4. Untuk mengetahui bagaimana Teknik Komunikasi Therapeutik
5. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan perawat dan pasien
6. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan perawat dan pasien dalam konteks etis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Komunikasi Dalam Keperawatan
Komunikasi adalah suatu proses yang kompleks karena dalamnya terjadi konfigu rasi berbagai macam aspek yakni aspek personal ( kognitif, afektif dan psychomotor ), sosial ( budaya, lingkungan, norma , etika ), pemenuhan kebutuhan dan agama. Konfigurasi dari pelbagai asapek akan terwujud dalam perilaku . Perilaku merupakan per wujudan nyata dari interaksi dengan sesamanya, perilaku perupakan aktualisasi diri merupakan pengkomunikasian diri kepada orang lain.
Komunikasi seorang perawat dengan pasien pada umumnya menggunakan komu-nikai yang yang berjenjang yakni komunikasi intrapersonal, interpersonal dan komunal / kelompok. Poter dan Ferry ( 1993 ) ,” komunikasi dalam prosesnya terjadi tiga tahapan yakni komunikasi intrapersonal, interpersonal dan publik.”
Pada tindakan atau intervensi keperawatan umumnya berbentuk komunikasi secara interpersonal langsung dengan jenis verbal maupun non verbal. Kemampuan inter aktif, perawat kesehatan dengan pasien mempunyai karakter spesial . Dalam tindakan atau perilaku kedua belah pihak menunjukkan aspek sosial dan profesional. ( Hupcey dan More, 1997 ).
Setiap komunikasi mempunyai tujuan, untuk mencapai tujuan diperlukan suatu metode , sehingga pencapaian tujuan dapat optimal. Komunikasi interaktif perawat kese-hatan dengan pasien tujuannya adalah kesembuhan pasien dari sakit yang dideritanya. Bila harapan pasien untuk sembuh lambat dan bahkan tidak terjadi seorang perawat secara moral sering kali merasa ikut bersalah. Perasaan yang sering kali muncul dalam dii ri seorang perawat yang baik dan profesional, menunjukkan bahwa komunikasi dalam ke perawatan mempunyai kekukhususan yakni menyangkut kelangsungan kehidupan seorang manusia.
Addalati (1983), Bucaille ( 1979 ) dan Amsyari, ( 1995 ) menegaskan bahwa seo-rang perawat yang beragama, tidak dapat bersikap masa bodoh, tidak peduli terhadap pa sien, seseorang ( perawat ) yang tidak care dengan orang lain ( pasaien ) adalah berdosa. Seorang perawat yang tidak menjalankan profesinya secara profesional akan merugikan orang lain / pasien, unit kerjanya dan juga dirinya sendiri.
Komunikasi dalam keperawatan disebut dengan komunikasi therapeutik, artinya komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat pada saat melakukan intervensi kepera watan harus mampu memberikan kasiat therapi dalam proses penyembuhan pasien. Oleh karenanya seorang perawat kesehatan harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aplikatif komunikasi therapeutic agar kebutuhan, kepuasan pasien dapat dipenuhi.


B. Komunikasi Interpesonal Dalam Perawatan
Dalam publikasi dinamis Peplau tentang , Interpersonal Relation in Nursing ( 1992), telah dipresentasikan kerangka konseptual suatu proses therapeutik antara perawat dengan pasien. Dalam prestasinya Peplau mengatakan bahwa komunikasi perawat dengan pasien dipengaruhi faktor-faktor yang kompleks meliputi faktor lingkungan dan interaksi yang pernah mereka alami mulai dari orang tua, yang dilandasi pada sikap-sikap, kepercayaan, dan pengalaman hidupnya pada budaya yang ikut menanamkan value kehidupan.
Empat fase interrelasi perawat pasien yang berkatian dengan tanggung jawab dan tugas perawat kesehatan terhadap pasien adalah :
1. Orientasi ( orientation ), pada phase ini seorang perawat harus mampu menangkap bahwa pasien ingin mencari kesembuhan penyakitnya dan dia mempercayakan dirinya dirawat oleh perawat. Untuk seorang perawat harus mampu melakukan anamnese dengan baik de ngan mengaplilkasikan prisip-prinsip komunikasi therapeutik, phase orientasi sering juga disebut phase pengenalan, pendahuluan.
2. Indetifikasi ( identification ), interaksi perawat – pasien hendaknya berbasis pada kepercayaan, penerimaan, pengertian, relasi yang saling membantu. Interaksi perawat – pasien berproses seperti diharapkan bila dilakukan dengan mengetrapkan prinsip-prinsip komunikasi efektif.
3. Eksploitasi ( exploitation ), interrrelasi perawat – pasien, akan menumbuhkan pengertian pasien terhadap proses system asuhan , sehingga pasien mempu-nyai keterlibatan aktif yang muncul dari dirinya karena ingin cepat sembuh da ri sakitnya. Aspek lain pasien dapat ditimbulkan pengertian, dan kesadaran self – care, sehingga peran perawat dan pasien dalam proses keperawatan un-tuk mencapai penyembuhan terjadi dengan baik ( kolaborasi ).
4. Resolusi ( resolution ), tahap yang keempat merupakan tahap yang penting dalam intervensi keperawatan. Harapan, kebutuhan pasien dapat diketahui melalui hubungan kesetaraan perawat – pasien dengan menggunakan komuni-kasi efektif. Harapan, kebutuhan pasien merupakan data yang menjadi arah tindakan apa yang perlu dilakukan terhadap pasiennya, resolusi problem asuhan keperawatan akan jelas karena kebutuhan dan harapan pasien sudah di ketahui. Phase yang keempat ini sering kali disebut dengan phase terminasi.

C. Gaya Komunikasi
Bila kita memikirkan berkomunikasi, kita sering memimpikan dirinya sendiri sedang berbicara dengan orang lain. Kenyataannya bahwa komunikasi adalah berbicara, mendengar, berpikir, interaksi, merencana, merespon secara simultan. Berarti komunikasi adalah alat untuk mengerti perspektif personal orang lain dan menginterpretasi dan me-respon yang didasarlkan pengalaman personal.
Interaksi perawat – pasien menyaratkan semua perawat mempunyai pengertian, perhatian, minat, dan kompetensi menganalisa perilaku dan emosional terhadap konteks terhadap interaksi yang terjadi antara perawat – pasien. Gaya komunikasi perawat – pasien dipengaruhi oleh kemahiran / ketrampilan perawat menegakan hubungan, keperca yaan dan emphaty dengan menggunakan gaya mendengarkan aktif sebagai sarana yang memfasilitasi hubungan perawat - pasien dalam asuhan keperawatan.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Komunikasi Efektif : Hubunngan, Kepercayaan, Emphaty, Cara / media penyampaian pesan, Kekuatiran dan stress, Bahasa ( verbal komunikasi ), Bahasa tubuh ( noverbal komunikasi ) dan Jarak.
D. Pengertian Komunikasi Therapeutik.
Karakteristik hubungan antara perawat-klien adalah berupa perilaku, pikiran dan perasaan. Juga penting untuk membedakan antara dukungan sosial dan dukungan profesional (Hupcey & Morse, 1997). Dukungan sosial terdiri dari 2 bagian yaitu bagian dari jaringan umum sosial dan hubungan yang merupakan dasar dari dimulainya hubungan saling percaya dan kesempatan melakukan kegiatan.
Ada 4 fase dalam melakukan hubungan antara perawat-klien yaitu :
1. Fase Prainteraksi
Kesiapan untuk perawat baru. Fase interaksi merupakan awal dimulainya kontak pertama dengan klien. Juga sebagai tugas awal perawat dalam mengeksplorasi diri. Berikut ini kesiapan umum yang diperlukan perawat (mahasiswa) yaitu:
• Kesadaran diri
• Hilangkan rasa ketakutan dalam merawat klien
• Cemas menyebabkan sifat yang kurang dalam penampilan
• Fokus tentang identifikasi kelebihan diri dalam merawat klien psikiatri
• Ragu-ragu akan keefektifan kemampuan atau kemampuan koping
• Takut akan bahaya fisik atau kekerasan
• Gelisah menggunakan diri secara terapeutik
• Curiga karena adanya stigma tentang klien psikiatrik berbeda dari klien lain
• Ancaman terhadap identitas peran perawat
• Ketidaknyamanan krn hilangnya kemampuan melakukan tugs fisik & penanganan
• Mudah mendapat ancaman krn penampilan emosional yg sangat menyakitkan
• Takut melukai klien secara psikologi
Tugas dari fase ini diharapkan klien mendapatkan informasi yang baik dan perawat mempunyai perencanaan untuk melakukan interaksi pertama kali dengan klien. Pengkajian perawat segera dimulai, tetapi pekerjaan yang dilakukan harus berhubungan dengan apa yang dilakukan pada klien kemudian fase kedua adalah hubungan.
2. Fase Introduksi atau Orientasi
Fase introduksi merupakan pertemuan pertama antara perawat dan klien.
Bentuk kontrak. Pada fase ini hubungan dibangun dengan saling percaya, saling mengerti, kedekatan dan komunikasi terbuka dan bentuk kontrak dengan klien.
Berikut ini elemen kontrak perawat-klien:
• nama individu
• peran perawat dan klien
• tanggung jawab perawat dan klien
• harapan perawat dan klien
• tujuan hubungan
• tentukan tempat dan waktu
• kondisi untuk terminasi
• kedekatan/tujuan (antara perawat dan klien)
Kontrak dimulai dengan introduksi perawat dan klien, nama yang disenangi, dan harapan dari peran. Yang termasuk dalam peran adalah tanggung jawab dan harapan klien dan perawat, bisa dijabarkan oleh perawat ataupun tidak. Pada tahap ini juga didiskusikan tujuan hubungan dengan memperhatikan atau fokus dengan klien dan klien menampilkan kehidupannya dan area konflik.
Kondisi terminasi harus dilakukan pengulangan dan termasuk spesifik lama waktu, tujuan yang akan dicapai atau perubahan klien terhadap penanganan.
Eksplorasi perasaan. Yang ditampilkan dari perawat dan klien adalah perbedaan tingkat ketidaknyamanan dan kecemasan pada fase introduksi. Perawat harus sadar akan ketakutan dan kecemasan dirinya, tetapi biasanya pasien sulit untuk menceritakan apa yang dirasakannya kepada orang yang menolongnya.
Tugas perawat pada hubungan fase orientasi adalah;
• mengeksplorasi persepsi , pikiran, perasaan dan tindakan klien
• mengidentifikasi masalah klien yang paling berhubungan
• mendefenisikan mutual, spesifik tujuan dengan klien
Perawat harus fleksibel dalam mengantisipasi lamanya waktu yang dibutuhkan untuk fase orientasi, biasanya klien harus tahu serius dan tidak penyakit mentalnya. Perubahan staf akan memberikan perubahan perkembangan kemampuan klien dalam hubungan terapeutik dan menampilkan juga jumlah perencanaan tindakan keperawatan yang akan diberikan.


3. Fase Kerja
Harus kerja yang terapeutik agar dapat dilakukan fase kerja. Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan meningkatkan wawasan perkembangan dari klien dengan menyamakan persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan. Wawasan diharuskan untuk mengartikan tindakan yang terjadi dan perubahan perilaku. Ini dapat diintegrasikan dengan penampilan kehidupan individu. Perawat membantu klien untuk dapat menurunkan kecemasan, meningkatkan ketergantungan dan tanggung jawab diri dan mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif. Fokus pada fase ini adalah perubahan perilaku secara aktual.
Klien menampilkan perilaku yang resisiten selama fase ini sebab bagian ini merupakan proses penyelesaian masalah. Perkembangan hubungan, dimulai dengan menanyakan perasaan klien, mengembangkan kemampuan dan mencarikan jalan keluar demi klien.
4. Fase Terminasi
Terminasi merupakan hal yang sangat sulit tetapi penting pada fase ini karena merupakan hubungan terapeutik klien dan perawat. Selama fase terminasi, belajar untuk meningkatkan kemampuan klien dan perawat. Setiap waktu perubahan perasaan dan memori dan evaluasi secara menyeluruh sesuai dengan kemajuan dan tujuan yang dicapai klien. Kriteria kerelaan klien untuk terminasi adalah:
• klien dapat mengekspresikan keyataan dari masalah yang dihadapi
• klien dapat meningkatkan fungsinya
• klien dapat meningkatkan harga diri dan mengidentifikasi kekuatan yang dirasakan
• klien menggunakan respons koping yang adaptif
• klien mengikuti hasil akhir tujuan penanganan yg akan dicapai
• memperbaiaki hubungan perawat dan klien dengan tidak terjadi masalah
Reaksi terminasi. Saat terminasi klien akan mengekspresikan marah dan ketidaksukaan, lainnya berlebihan perilaku dan ucapan atau penampilan yang lambat, pesan yang disampaikan atau perkataan yang seadanya. Juga klien saat terminasi menampilkan rejek, penghargaan negatif terhadap konsep diri.
Perawat harus sadar akan kemungkinan reaksi yang terjadi dan mendiskusikan dengan klien tentang kondisi yang akan terjadi. Beberapa klien, terminasi merupakan penampilan terapeutik yang sangat kritis karena hubungan sebelumnya baik dan terminasi menjadi negatif dan akan timbul perasaan tidak ingin ditinggal, rejek, takut dan marah.
Berikut ini ringkasan proses hubungan perawat dan pasien adalah :



E. Teknik Komunikasi Therapeutik
Komunikasi therapeutik dasar dari hubungan interaktif, yang dilandasi oleh frame
of reference dan field of experience dari kedua belah yang terlibat dalam proses komuni-kasi ( perawat – pasien ). Bobot / mutu interaksi dan kemampuan meningkatkan komuni kasi therpeutik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi sikap perawat, kemampuan perawat mengerti dan memahami perilaku yang berkaiatan dengan kontek sosial, adanya sifat terbuka untuk mendengar dan merespon secara empahti terhadap pasaien dan juga keluarganya maupun tema-teman kolega.
Komunikasi therapeutik hendaknya dapat menjadi salah satu sarana menyembuh-kan atau mempercepat kesembuhan pasien, ruang linngkup yang terlibat dalamnya bukan hanya interaksi perawat – pasien saja tetapi meliputi staff keperawatan, keluarga dan stakeholder.
Teknik komunikasi therapeutik adalah :

• Mendengar secara aktif
• Ketegasan
• Kejelasan
• Mengatasi Konflik
• Terjadi Kontak Langsung
• Terfokus
• Saling Memberikan Infomasi
• Adanya Humor
• Negosiasi
• Menanyakan Sesuatu
• Melakukan Refleksi
• Berani membuka diri secara tuilus
• Keheningan
• Ucapan dan yang ada dalam hati sama
• Menyimpulkan


F. Hubungan perawat dan pasien

Perawat sebagai salah satu tenaga kepewaratan, dalam menjalin hubungan dengan pasien merupakan yang pertama dan terlama. Dengan demikian mutlak membutuhkan kemampuan berkomunikasi interpersonal dalam membina hubungan tersebut.
Dalam menjalankan fungsi dan perannya adalah sebagai berikut: sebagai pemberi pelayanan, pendidikan, pengelola,dan peneliti. Sebagai seorang yang professional berada dalam posisi yang menentukan untuk melindungi hak-hak pasien untuk mendapatkan:
 Pelayanan asuhan keperawatan yang aman dan bermutu.
 Informasi yang diperlukan keluasan pribadi (privacy).
 Menolak terapi/ perawatan.
 Dan kerahasiaan akan keberadaan data diri pasien.

Semua ini dapat dilakukan perawat jika perawat mempunyai kemampuan berkomunikasi interpersonal yang memadai. Dalam memberikan asuhan keparawatan kepada pasien, perawat juga harus selalu menjaga kaedah- kaedah atas mutu asuhan kepaerawatan, mengingat tuntutan pasien tidak hanya sekedar sembuh, dan murahnya tariff jasa pelayanan keperawatan, tetapi lebih dari itu pasien mengharapkan pelayanan asuhan keperawatan yang professional.

G. Hubungan perawat dan pasien dalam konteks etis
Seorang pasien dalam situasi menjadi pasien mempunyai tujuan tertentu. Seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan juga mempunyai tujuan tertentu. Kondisi yang dihadapi pasien merupakan penentu peran perawat terhadap pasien ( Husted dan Husted, 1990 ).
Untuk menjelaskan peran perawat secara umum dapat digunakan kerangka yang mengacu pada pandangan dasar Helldegard .E Pepley, tentang hubungan perawat dan pasien dalam asuhan keperawatan, merupakan rasa percaya, pengukuran pemecahan masalah ( Problem Solving ), dan kolaborasi.
Dalam konteks hubungan perawat dan pasien, perawat dapat berperan Sebagai konselor pada saat pasien mengungkapkan kejadian dan perasaan tentang penyakitnya. Perawat juga dapat berperan sebagai pengganti orang tua (terutama pada pasien anak), saudara kandung, atau teman bagi pasien dalam ungkapan perasaan-perasaannya.
Fokus utama dari perhatian etis dalam keputusan tindakan asuhan keperawatan seharusnya adalah kesejahteraan individu, dan walaupun pasien mempunyai peran integral dan bahan peran sentral dalam pengambilan keputusan, maka pasien tidak lagi mempunyai hak untuk memaksa perawat, sebagai pelaksana asuhan keperawatan.
Bila perbedaan antara perawat dan pasien tidak dapat di selesaikan, maka pelaksana asuhan keperawatan harus menarik diri dari pelaksana asuhan keperawatan dan merujuknya kepada seseorang yang sistim valuenya sesuai dengan keinginan pasien. Dan bila tidak ada juga, pasien mungkin harus mempertimbangkan kembali keputusannya atau dapat menarik diri dari asuhan keperawatan
Berdasarkan peran dan fungsi perawat, perawat menerima tugas secara pribadi untuk memenuhi kebutuhan asuhan kepaearawat dari pasien. Bagaimanapun perawat tidak mempunyai kewajiban khusus untuk mencoba mengisi semua (atau beberapa) keinginan asuhan keperawatan dari individu, meskipun perawat dapat melakukannnya tetapi tidak ada kewajiban moral secara khusus untuk melakukannya.
Terlebih lagi perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan, tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pasien yang diluar bidang keahliannya, dan mempunyai hak untuk mengakhiri tindakan asuhan keperawatan yang diluar batas kemampuannya.
Oleh sebab itu, hubungan parawat dan pasien sebenarnya merupakan keputusan– keputusan yang dibuat besdasarkan kesepakatan bersama sebagai pencerminan suatu penghargaan terhadap value dari kedua belah pihak. Disamping itu dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien , perawat juga mempunyai hubungan dengan dokter dalam peran dependen (tergantung) mengingat dalam melaksanakan asuhan keperawatan didalamnya terdapat program kesehatan dimana pertanggung jawaban dipegang oleh dokter, disamping peran kolaborasi (interdependen) yang dilaksanakan dalam mengatasi permasalahan secara team work dengan tim kesehatan lain.
Untuk membuat keputusan terdapat permasalahan etika keperawatan secara tepat, maka perawat perlu mengetahui dan memahami konsep dasar etika keperawatan. Berbagai permasalahan etika dapat terjadi dalam tatannan tindakan asuhan keperawatan, dimana terjadi intervensi antara pasien dengan perawat. Permasalahan bisa menyangkut penentuan antara mempertahankan hidup dengan kebebasan dalam menentukan kamatian.
Upaya menjaga keselamatan pasien yang bertentangan dengan berbagai sector lain, dan penerapan asuhan keperawatan yang tidak ilmiah dalam mengatasi permasalahan kesehatan pasien. Dalam membuat keputusan terhadap dua masalah yang dihadapi, perawat dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang menguntungkan pasien dan dirinya, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh pasien.



BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Pada dasaranya hubungan antara perawat dan pasien berdasarkan pada sifat alamiah perawat dan pasien. Dalam interaksi perawat dan pasien, peran yang dimiliki masing–masing membentuk suatu kesepakatan atau persetujuan dimana pasien pempunyai peran dan hak sebagai pasien dan perawat dapam melaksanakan asuhan keparawatan mempunyai peran mempunyai peran dan hak sebagai perawat.
Dakam konteks hubungan perawat dan pasien, maka setiap hubungan harus didahului dengan kontrak dan kesepakatan bersama, dimana pasien mempunyai peran sebagai pasien dan perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan.
Komunikasi therapeutik merupakan hal yang sentral dalam asuhan keperawatan.
Komuikasi therapeutik adalah landasan interaksi perawat – pasien dan dapat menjadikan kesempatan yang baik untuk menumbuhkan kepercayaan, dalam melakukan anamenese merupakan sarana mengumpulkan data pasien sesuai yang dibutuhkan , dapat menumbuh-kan kolaborasi pasien dengan tenaga penunjang keperawatan lain, dapat mem permudah diagnosa dan memperlancara intervensi yang seyogyanya dilakukan oleh seorang perawat kesehatan.
Komunikasi therapeutik menjadi suatu keharusan untuk difahami dan diimplemen tasikan oleh seorang perawat dalam melakukan tindakan kepada pasien. Profesionalitas seorang perawat kesehatan akan dapat diwujudkan dengan kemampuan seorang perawat kesehatan mengkomunikan kapabelitas kognitif, afektif dan psychomotor menjadi suatu konfigurasi integral dalam memenuhi espektasi klienya, dengan memaknai komunikasi dirinya dengan nilai-nilai therapetik. Secara holistik kepada klien / pasien.

Daftar Pustaka
• http://www.stikescharitas.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27&Itemid=57
• http://www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=88
• http://inna-ppni.or.id/html/index.php?name=News&file=article&sid=122
• Mundakir,2006. Komunikasi Keperawatan. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Sabtu, 26 Juni 2010

Anatomi Fisiologi Sistem Penginderaan

ANATOMI FISIOLOGI
SISTEM PENGINDERAAN

PENGLIHATAN

• Mata : struktur sferis berisi cairan yg dibungkus oleh 3 lapisan, urutan dari paling luar ke paling dalam.
• Sklera : yang membentuk bagian putih mata.
• Kornea : ke arah depan , lapisan luar adalah kornea, transparan tempat lewatnya berkas cahaya ke interior mata.

LAPISAN MATA :

• Koroid : lapisan tengah di bawah sclera, yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh darah untuk memberi makan retina
• Lapisan Koroid di sebelah anterior mengalami spesialisasi untuk membentuk badan ( korpus ) siliaris dan iris
• Retina : lapisan paling dalam di bawah koroid , terdiri dari lapisan pigmen di luar dan lapisan jaringan saraf di dalam . Retina mengandung sel batang dan sel kerucut ,fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf.
• Bagian dalam mata terdiri dari dua rongga berisi cairan yg dipisahkan oleh sebuah lensa, jernih agar cahaya bisa menembus kornea ke retina.
Gambar Struktur Bola Mata :

RONGGA MATA

• Anterior ( depan ) antara kornea dan lensa, cairan encer jernih, disebut aqueous humor,
• Di posterior ( belakang ) antara lensa dan retina, cairan seperti gel disebut vitreous humor.
• Aqueous humor mengandung zat gizi untuk kornea dan lensa, vitreous humor, untuk memprtahankan bentuk bola mata yg sferis.
• Aquaeous humor dibentuk oleh jaringan kapiler di dalam korpus siliaris.

MATA

Gambar Reseptor Mata :
Gambar Rongga pada Mata :

• Struktur yang penting dalam kemampuan refraksi ( pembelokan berkas cahaya ) adalah Kornea dan Lensa.
• Lensa mempunyai kemampuan untuk memfokuskan sinar jauh maupun dekat agar tepat jatuh di retina yg disebut akomodasi, yg diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris memiliki dua komponen utama : otot siliaris dan jaringan kapiler yang menghasilkan aqueous humor. Otot siliaris , otot polos yg melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium.



FOTORESEPTOR
Ada tiga bagian:

1. Segmen luar ,menghadap ke koroid mendeteksi rangsang cahaya. Rodopsin , fotopigmen sel batang tidak dapat membedakan panjang gelombang sehingga memberi gambaran abu-abu. Fotopigmen di sel kerucut merah, hijau dan biru, sehingga penglihatan warna bisa terjadi.
2. Sebuah segmen dalam, terletak di pertengahan panjang gelombang mengandung perangkat metabolic sel
3. Sebuah terminal sinaps, paling dekat dengan interior mata ,menghadap neuron bipolar dan menyalurkan sinyal.

ANATOMI FISIOLOGI TELINGA

TELINGA DIBAGI MENJADI 3 BAGIAN
• TELINGA LUAR
• TELINGA TENGAH
• TELINGA DALAM

TELINGA LUAR
TERDIRI DARI
• AURIKEL (PINNA)
TERBUAT DARI KARTILAGO YANG DIBUNGKUS OLEH KULIT
• SALURAN (CANAL)
TEROWONGAN YANG MASUK KE DALAM TULANG TEMPORAL
• TERDAPAT KELENJAR CERUMEN (YG BERFUNGSI UNTUK MENJAGA GENDANG TELINGA LENTUR DAN MENANGKAP DEBU)

TELINGA TENGAH

• TERDAPAT RONGGA UDARA DALAM TULANG TEMPORAL
• GENDANG TELINGA, BERGETAR SAAT ADANYA GELOMBANG UDARA
• GELOMBANG UDARA DISALURKAN MELALUI 3 TULANG AUDITORY; MALLEUS, INCUS, STAPES. STAPES MEYALURKAN TRANSMISI GETAR KE TELINGA DALAM YANG BERISI CAIRAN PADA OVAL WINDOW
• TUBA EUSTACHIAN ATAU SALURAN AUDITORY MRP SAMBUNGAN DARI TELINGA TENGAH KE NASOPHARING

TELINGA DALAM

• TELINGA DALAM MRP RONGGA DI DALAM TULANG TEMPORAL DIKENAL DENGAN TULANG LABIRINT.
• CAIRAN ANTARA TULANG DAN MEMBRAN DISEBUT CAIRAN PERILIMPH DAN YANG TERDAPAT DI DALAM MEMBRAN DISEBUT CAIRAN ENDOLIMPH
• STRUKTUR MEMBRAN DISEBUT COCHLEA YANG BERKAITAN DENGAN PENDENGARAN DAN UTRICLE, SACCULE, SEMI CIRCURAL CANAL BERKAITAN DENGAN KESEIMBANGAN
• TELINGA DALAM
• COCHLEA BERBENTUK SEPERTI RUMAH SIPUT YANG TERDIRI DARI 3 SALURAN.
• SALURAN TENGAH BERISI ORGAN RESEPTR UNTUK PENDENGARAN YAITU ORGAN CORTI (ORGAN SPIRAL) RESEPTOR INI DIKENAL SEBAGAI SEL RAMBUT YANG BERISI AKHIR SARAF KRANIAL 8.
• PROSES PENDENGARAN
• PROSES PENDENGARAN MELIPUTI TRANSMISI GETAR DAN IMPULS SARAF, KETIKA GEL.SUARA MASUK KE SALURAN TELINGA, GETARAN DISAMPAIKAN MELALUI: GENDANG TELINGA, MELLEU, INCUS, STAPES, OVAL WINDOW, PERILIMPH, ENDOLIMPH DALAM COCHLEA DAN SEL RAMBUT DARI ORGAN CORTI
• DARI SEL RAMBUT DIHASILKAN IMPULS YANG DIBAWA OLEH SARAF VIII KE OTAK.
• AREA AUDITORY UNTUK PENDENGARAN DAN INTERPRETASI ADA DI LOBUS EMPORAL CORTEX SEREBRI.
• KESEIMBANGAN
• UTRICLE DAN SACCULE MRP MEMBRAN ANTARA COCHLEA DAN SEMICIRCULAR CANAL, YG BERISI SEL RAMBUT YANG MENEMPEL PADA STRUKTUR GELATIN TDD: OTOLITH DAN KRISTAL CALCIUM KARBONAT
• SEL RAMBUT BENGKOK SBG RESPON THD PENARIKAN GRAVITASI PADA OTOLITH SBG AKIBAT DARI PERUBAHAN POSISI KEPALA
• IMPULS DIHASILKAN DAN DIBAWA OLEH CABANG VESTIBULAR SARAF CRANIAL VIII KE CEREBELLUM, OTAK TENGAH DAN LOBUS TEMPORAL CEREBRUM
• CEREBELLUM DAN OTAK TENGAH MENGGUNAKAN INFORMASI INI UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN

STRUKTUR TELINGA

• Telinga luar dan tengah, menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan, untuk memperkuat energi suara.
• Telinga dalam berisi dua system sensorik yang berbeda : kohlea mengandung reseptor yg mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf sehingga kita bisa mendengar dan apparatus vestibularis, yg penting untuk sensasi keseimbangan.

• Telinga luar dan tengah mengubah gelombang suara dari hantaran udara menjadi getaran cairan di telinga dalam.
• Telinga luar :
1. Pina
2. Meatus auditorius eksternus
3. Membran timpani

• Pina :
Suatu lempeng tulang rawan yg dibungkus kulit, mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke saluran telinga bagian dalam.

• Meatus auditorius eksternus :
Merupakan saluran yg dijaga oleh rambut2 rambut halus. Kulit yg melapisi saluran telinga mengandung kelenjar keringat yg menghasilkan serumen.

• Membran timpani :
Membran tipis yg teregang menutupi pintu masuk ketelinga tengah

• Tuba eustachii :
Yang menghubungkan telinga tengah ke faring. Dalam keadan tertutup, tapi dapat dibuat terbuka, bila mengunyah, menguap atau menelan.

• Telinga tengah :
Memindahkan getaran dari membrane timpani ke cairan telinga dalam. Pemindahan lebih mudah krn ada tulang maleus, incus dan stapes.Maleus melekat ke membran timpani, dan stapes melekat ke jendela oval.

PENGECAPAN DAN PENGHIDU

• Pada mata fotoreseptor dan telinga mekanoreseptor, reseptor untuk pengecapan dan penghidu adalah kemoreseptor yang akan menghasilkan sinyal saraf bila berikatan dengan zat kimia tertentu.

INDERA PENGECAPAN
( GUSTASI )

• Kemoreseptor untuk sensasi pengecapan terkemas dalam papil-papil pengecap ( taste buds ) yang dalam rongga mulut dan tenggorokan ,persentasi terbesar berada di permukaan atas lidah.

• Setiap papil pengecap terdiri dari 50 sel reseptor yg terkemas dengan sel penunjang. Setiap papil memiliki sebuah lubang kecil , pori-pori pengecap, tempat berkontaknya cairan dalam mulut dengan permukaan sel reseptor.

• Sel-sel reseptor pengecapan adalah sel epitel termodifikasi dengan banyak lipatan permukaan, atau mikrovili yang menonjol melalui pori-pori pengecap, untuk meningkatkan luas permukaan sel yang terpajan.

• Sel-sel papil pengecap ,karena sering terpajan zat-zat kimia sehingga memiliki masa hidup 10 hari.

• Ujung-ujung terminal aferen beberapa saraf cranial bersinap dengan papil-papil pengecap . Sinap ini dikirimkan melalui perhentian-perhentian sinap di batang otak dan thalamus ke daerah gustatorik kortek di lobus parietalis yg dekat dengan daerah lidah kortek somatosensorik.

• Jalur gustatorik sebagian besar tidak menyilang. Batang otak juga memproyeksikan serat saraf ke hipotalamus dan system limbic.

• Empat rasa utama asin, masam, manis dan pahit.
LIDAH

• Mukosa olfaktorius, yang terletak di langit-langit rongga hidung, mengandung tiga jenis sel : reseptor olfaktorius, sel penunjang dan sel basal.

• Sel penunjang mengeluarkan mucus

• Sel-sel basal, prekusor untuk sel-sel reseptor olfaktorius yang baru, yang diganti setiap 2 bulan

• Reseptor olfaktorius merupakan ujung-ujung neuron aferen khusus, bukan sel tersendiri. Neuron keseluruhan, termasuk akson aferen yang menuju otak diganti. Sel-sel ini merupakan satu-satunya sel yang mengalami pembelahan sel. Akson-akson sel reseptor secara kolektif membnetuk saraf olfaktorius.


• Bagian reseptor dari sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah kepala yang menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk melekatnya berbagai molekul odoferosa ( pembentuk bau ).

• Agar dapat dibaui bahan harus : mudah menjadi gas dan mudah larut air sehingga dapat larut ke dalam lapisan mucus.

• Serat-serat aferen berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-saerat saraf tersebut segera bersinap di bulbus olfaktorius.

• Serat saraf yang keluar dari bulbus olfaktorius berjalan melalui dua rute

o Rute subkortikal yang terutama menuju sistem limbik, khususnya media lobus temporalis (kortek olfaktorius primer), dianggap satu-satunya jalur penghidu.

Gangguan Sel Darah Putih

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan sel darah putih dapat mengenai setiap lapisan sel atau semua lapisan sel dan umumnya disertai gangguan pembentukan atau penghancuran dini.
Leukositosis menunjukkan peningkatan leukosit yang umumnya melebihi 10.000/mm3. Granulositosis menunjukkan peningkatan granulosit, tetapi sering digunakan hanya untuk menyatakan peningkatan neutrofil; jadi sebenarnya, neutrofilia merupakan istilah yang lebih tepat. Leukosit meningkat sebagai respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Terhadap respons infeksi atau radang akut, neutrofil meninggalkan kelompok marginal dan memasuki daerah infeksi; sumsum tulang melepaskan sumber cadangannya dan menimbulkan peningkatan granulopoiesis. Karena permin¬taan yang meningkat ini, bentuk neutrofil limatur, yaitu yang dinamakan neutrofil batang, yang memasuki sirkulasi meningkat, proses ini dinamakan “pergeseran ke kiri” (lihat Gambar Berwarna 19). Bila infeksinya mereda, maka neutrofil berkurang dan monosit meningkat (monositosis). Pada resolusi yang progresif, monosit berkurang dan terjadi limfositosis (limfosit bertambah) ringan, serta eosinofifia (eosinofil bertambah). Reaksi leukemoid menyatakan keadaan leukosit yang meningkat disertai peningkatan bentuk imatur yang mencapai 100.000/MM3. Ini akibat respons terhadap infeksi, toksik, dan peradangan serta terjadi juga pada keganasan, terutama payudara, ginjal, paru, dan karsinoma metastatik (Beck, 1991). Gangguan dengan terjadinya peningkatan umum dalam sel-sel pembentuk darah dinamakan gangguan mielo¬proliferatif.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan Definisi dari Netrofilia?
2. Jelaskan Sifat pertahanan netrofil dan makrofag terhadap infeksi?
3. Bagaimana fagositosis yang dilakukan oleh netrofil?
4. Bagaimana peran netrofil dan makrofag pada peradangan?
5. Bagaimana respon netrofil dan makrofag selama peradangan?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan definisi dari netrofil.
2. Agar dapat menjelaskan tentang sifat pertahanan netrofil dan makrofag terhadap infeksi.
3. Untuk memahami fagositosis yang dilakukan oleh netrofil.
4. Untuk memahami peran netrofil dan makrofag pada peradangan.
5. Untuk mengetahui respon netrofil dan makrofag selama peradangan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Neutrofilia
Neutrofilia juga terjadi sesudah keadaan stres, seperti kerja fisik berat atau penyuntikan epinefrin. Ini adalah “pseudoleukositosis” karena granulopoiesis dalam sumsum tulang tidak ditambah dan jumlah granulosit dalam tubuh sebenarnya tidak meningkat. Granulosit dilepaskan dan kelompok marginal sehingga jumlah granulosit yang dapat ditarik ke dalam alat penentuan sampel bertambah. Pengobatan dengan kortikosteroid juga mengakibatkan pseudoleukositosis. Kortikoste¬roid diduga meningkatkan pelepasan granulosit dari cadangan sumsum serta menghalangi marginasi ranulosit, yang mengakibatkan leukosit dalam sirkulasi bertambah. Eosinofilia terjadi pada gangguan kulit seperti mikosis fungoides dan eksema; keadaan alergi seperti asma dan hay fever; reaksi obat dan infestasi parasit. Eosinofilia juga ditemukan pada keganasan dan gangguan mieloproliferatif, seperti ada basofilia.
Monositosis ditemukan pada fase penyembuhan infeksi dan pada penyakit granuloma kronik seperti tuberkulosis dan sarkoidosis. Limfositosis menunjukkan
jumlah limfosit yang meningkat. Limfosit yang , diaktifkan oleh rangsang virus atau antigen diubah bentuknya menjadi limfosit atipik yang lebih besar. Sel-sel ini terdapat dalam jumlah besar pada mononukleosis infeksiosa, hepatitis infeksiosa, toksoplasmosis, campak, parotitis, beberapa reaksi alergi (misal, serum sickness, sensitivitas obat), dan limfoma maligna (Schrier, 1979). Selain limfositosis, pasien ini sering menunjukkan pembesaran hati, lien, dan kelenjar getah bening, yang semuanya merupakan tempat pembentukan limfosit.
Leukopenia menunjukkan jumlah leukosit yang menurun, dan neutropenia menunjukkan penurunan jumlah absolut neutrofil. Karena peran neutrofil pada pertahanan pejamu, maka jumlah neutrofil absolut yang kurang dari 1000/mm3 merupakan predisposisi terkena infeksi; jumlah di bawah 500 /mm3 merupakan predisposisi terhadap infeksi yang mengancam kehidupan yang sangat berbahaya. Neutropenia dapat disebabkan oleh pembentukan neutrofil yang tidak efektif dan gangguan pembentukan neutrofil, yang ditemukan pada anemia hipoplastik atau aplastik yang disebabkan oleh obat sitotoksik, zat-zat toksik, dan infeksi virus; kelaparan; dan penggantian sumsum tulang normal oleh sel-sel ganas, seperti pada leukemia.
Agranulositosis adalah keadaan yang sangat serius yang ditandai dengan jumlah leukosit yang sangat rendah dan tidak adanya neutrofil. Agen penyebab umumnya adalah obat yang mengganggu pemben¬tukan sel atau meningkatkan penghancuran sel. Obat-¬obat yang sering dikaitkan adalah agen-agen kemo¬terapi mielosupresif (menekan surnsurn tulang) yang digunakan pada pengobatan keganasan hematologi dan keganasan lainnya. Obat yang makin banyak dan sering digunakan seperti analgetik, antibiotika, dan anuhistamin, diketahui mampu menyebabkan neutro¬penia atau agranulositosis berat. Respons terhadap obat-obat ini berkaitan dengan dosis atau reaksi idiosinkrasi.
Perubahan kromosom rekuren terjadi pada lebih dari separuh kasus leukemia, dan terjadi hanya pada sel hematopoietik ganas (Bloomfield, Caligiuri, 2001).
Gejala agranulositosis yang sering dijumpai adalah infeksi, rasa malaise umum (rasa tidak enak, kele¬mahan, pusing, dan sakit otot) diikuti oleh terjadinya tukak pada membran mukosa, demam, dan takikardia. Jika agranulositosis tidak diobati, dapat terjadi sepsis dan kematian. Menghilangkan agen penyebab sering menghambat dan menyembuhkan proses tersebut disertai peningkatan pembentukan neutrofil dan unsur-unsur sumsum normal lainnya.
B. Sifat Pertahanan Netrofil dan Makrofag Terhadap Infeksi
Ternyata, netrofil dan makrofag jaringan yang terutama menyerang dan menghancurkan bakteri, virus, dan agen¬-agen merugikan lain yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Netrofil adalah sel matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri, bahkan di dalam darah sirkulasi. Sebaliknya, makrofag jaringan memulai hidup seba¬gai monosit darah, yang merupakan sel imatur walaupun tetap berada di dalam darah dan memiliki sedikit kemam¬puan untuk melawan agen-agen infeksius pada saat itu. Namun, begitu makrofag masuk ke dalam jaringan, sel-¬sel ini mulai membengkak kadang-kadang diameternya membesar hingga lima kali lipat—sampai sebesar 60 hingga 80 mikrometer, suatu ukuran yang hampir dapat dilihat dengan mata telanjang. Sel-sel ini sekarang dise-but makrofag, dan mempunyai kemampuan hebat untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam jaringan.
Sel Darah Putih Memasuki Ruang Jaringan de¬ngan Cara Diapedesis. Netrofil dan monosit dapat terperas melalui pori-pori kapiler darah dengan cara diapedesis. Jadi, walaupun sebuah pori ukurannya jauh lebih kecil daripada sel, pada suatu ketika sebagian ke¬cil sel tersebut meluncur melewati pori-pori; bagian yang meluncur tersebut untuk sesaat terkonstriksi sesuai dengan ukuran pori, seperti yang terlihat pada Gambar 33-2.
Sel Darah Putih Bergerak Melewati Ruang Jaring¬an dengan Gerakan Ameboid. Netrofil dan makro¬fag dapat bergerak melalui jaringan dengan gerakan ame¬boid seperti yang dijelaskan di Bab 2. Beberapa sel dapat bergerak dengan kecepatan 40 /menit, sepanjang ukuran tubuhnya sendiri setiap menit.
Sel Darah Putih Tertarik ke Daerah Jaringan yang Meradang dengan Cara Kemotaksis. Banyak je¬nis zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan netrofi I dan makrofag bergerak menuju sumber zat kimia. Fenomena ini, seperti yang tampak pada Gambar 33-2, dikenal sebagai kemotaksis. Bila suatu jaringan mengalami pe¬radangan, sedikitnya terbentuk selusin produk yang dapat menyebabkan kemotaksis ke arah area yang mengalami peradangan. Zat-zat ini adalah (1) beberapa toksin bakteri atau virus, (2) produk degeneratif dari jaringan yang me¬radang itu sendiri, (3) beberapa produk reaksi “kompleks komplemen” (dibicarakan di Bab 34) yang diaktifkan di jaringan yang meradang, dan (4) beberapa produk reaksi yang disebabkan oleh pembekuan plasma di area yang me-radang, dan juga zat-zat lainnya.
Seperti yang terlihat pada Gambar 33-2, proses ke¬motaksis bergantung pada perbedaan konsentrasi zat-zat kemotaktik. Pada daerah dekat sumber, konsentrasi zat-¬zat ini paling tinggi, dan menyebabkan gerakan sel darah putih yang terarah. Kemotaksis efektif sampai jarak 100 mikrometer dari jaringan yang meradang. Karena hampir tidak ada area jaringan yang jauhnya lebih dari 50 mikro¬meter dari kapiler, maka sinyal kemotaktik dapat dengan mudah memindahkan sekelompok sel darah putih dari ka¬piler ke daerah yang meradang.
C. Fagositosis
Fungsi netrofil dan makrofag yang terpenting adalah fa¬gositosis, yang berarti pencernaan seluler terhadap agen yang mengganggu. Sel fagosit harus memilih bahan-ba¬han yang akan difagositosis; kalau tidak demikian, sel normal dan struktur tubuh akan dicerna pula. Terjadinya fagositosis terutama bergantung pada tiga prosedur selek¬tif berikut.
Pertama, sebagian besar struktur alami dalam jaringan memiliki permukaan halus, yang dapat menahan fagosito¬sis. Tetapi jika permukaannya kasar, maka kecenderungan fagositosis akan meningkat.
Kedua, sebagian besar bahan alami tubuh mempunyai selubung protein pelindung yang menolak fagositosis. Se¬baliknya, sebagian besar jaringan mati dan partikel asing tidak mempunyai selubung pelindung, sehingga jaringan atau partikel tersebut menjadi subjek untuk difagositosis.
Ketiga, sistem imun tubuh (dijelaskan dengan rinci di Bab 34) membentuk antibodi untuk melawan agen in¬feksius seperti bakteri. Antibodi kemudian melekat pada membran bakteri dan dengan demikian membuat bakte¬ri menjadi rentan khususnya terhadap fagositosis. Untuk melakukan hal ini, molekul antibodi juga bergabung de¬ngan produk C3 dari kaskade komplemen, yang merupa¬kan bagian tambahan sistem imun yang akan dibicarakan di Bab 34. Molekul C3 kemudian melekatkan diri pada reseptor di atas membran sel fagosit, dengan demikian memicu fagositosis. Proses seleksi dan fagositosis ini di¬sebut opsonisasi.
Fagositosis oleh Netrofil. Netrofil sewaktu memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel matur yang dapat sege¬ra memulai fagositosis. Sewaktu mendekati suatu partikel untuk difagositosis, mula-mula netrofil melekatkan diri pada partikel kemudian menonjolkan pseudopodia ke semua jurusan di sekeliling partikel. Pseudopodia bertemu satu sama lain pada sisi yang berlawanan dan bergabung. Hal ini menciptakan ruangan tertutup yang berisi partikel yang sudah difagositosis. Kemudian ruangan ini berinva¬ginasi ke dalam rongga sitoplasma dan melepaskan diri dari membran sel bagian luar untuk membentuk gelem¬bung fagositik yang mengapung dengan bebas (juga di¬sebut fagosom) di dalam sitoplasma. Sebuah sel netrofi I biasanya dapat memfagositosis 3 sampai 20 bakteri sebe¬turn sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati.
Fagositosis oleh Makrofag. Makrofag merupakan produk tahap akhir monosit yang memasuki jaringan dari dalam darah. Bila makrofag diaktifkan oleh sistem imun seperti yang dijelaskan di Bab 34, makrofag merupakan sel fagosit yang jauh lebih kuat daripada netrofil, sering kali mampu memfagositosis sampai 100 bakteri. Makro¬fag juga mempunyai kemampuan untuk menelan partikel yang jauh lebih besar, bahkan sel darah merah utuh, atau, kadang-kadang, parasit malaria, sedangkan netrofil tidak mampu memfagositosis partikel yang jauh lebih besar dari bakteri. Makrofag setelah memakan partikel, juga dapat mengeluarkan produk residu dan sering kali dapat bertahan hidup serta berfungsi sampai berbulan-bulan kemudian.
Setelah Difagositosis, Sebagian Besar Partikel Dicerna oleh Enzim Intraseluler. Segera setelah partikel asing difagositosis, lisosom dan granula sitoplasmik lainnya segera datang untuk bersentuhan dengan gelembung fagositik, dan membrannya bergabung dengan membran pada gelembung, selanjutnya mengeluarkan ba¬nyak enzim pencernaan dan bahan bakteri sidal ke dalam gelembung. Jadi, gelembung fagositik sekarang menjadi gelembung pencerna, dan segera dimulailah proses pencernaan partikel yang sudah difagositosis.
Netrofil dan makrofag, keduanya mempunyai sejum¬lah besar lisosom yang berisi enzim proteolitik yang khu¬sus dipakai untuk mencema bakteri dan bahan protein asing lainnya. Lisosom yang ada pada makrofag (tetapi tidak pada netrofil) juga mengandung banyak lipase, yang mencerna membran lipid tebal yang dimiliki oleh bebera¬pa bakteri tertentu seperti basil tuberkulosis.

Netrofil dan Makrofag Dapat Membunuh Bakte¬ri. Selain mencerna bakteri yang dicerna dalam fagosom, netrofil dan makrofag juga mengandung bahan bakteri ¬sidal yang membunuh sebagian besar bakteri, bahkan bila enzim lisosomal gagal mencerna bakteri tersebut. Hal ini menjadi demikian penting sebab beberapa bakteri mem¬punyai selubung pelindung atau faktor lain yang mence¬gah penghancurannya oleh enzim pencernaan. Banyak efek pembunuhan merupakan hasil dari beberapa bahan pengoksidasi kuat yang dibentuk oleh enzim dalam mem¬bran fagosom, atau oleh organel khusus yang disebut pe¬roksisom. Bahan pengoksidasi ini ialah sejumlah besar su¬peroksida (02-), hidrogen peroksida (H2O2 ), dan ion-ion hidroksil (—OH-), semuanya bersifat mematikan bagi sebagian besar bakteri, bahkan bila bahan pengoksidasi itu jumlahnya sedikit. Selain itu, salah satu enzim lisosom, yaitu mieloperoksidase, mengatalisis reaksi antara H2O2 dan ion klorida untuk membentuk hipoklorit, yang secara luas bersifat bakterisid.
Namun, beberapa bakteri, khususnya basil tuberkulo¬sis, mempunyai selubung yang bersifat resisten terha¬dap pencernaan oleh lisosom dan juga mengekresikan zat-zat yang memiliki ketahanan parsial terhadap efek pembunuhan dari netrofil dan makrofag. Bakteri seperti ini berperan pada banyak penyakit kronik, dan salah satu contohnya adalah tuberkulosis.

D. Peradangan Peran Netrofil dan Makrotag
Peradangan
Bila terjadi. cedera jaringan, entah karena bakteri, trauma, bahan kim ia, panas, atau fenomena lainnya, maka jaringan yang cedf--ra itu akan melepaskan berbagai zat yang me¬nimbulkan perubahan sekunder yang dramatis di sekeli¬ling jaringan yang tidak cedera. Keseluruhan kompleks perubahan jaringan ini disebut peradangan (inflamasi).
Peradangan ditandai oleh (1) vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan; (2) peningkatan permeabilitas kapiler, memungkinkan kebocoran banyak sekali cairan ke dalam ruang interstisial (3) sering kali terjadi pembekuan cairan di dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler da¬lam jumlah besar; (4) migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan (5) pembengkakan sel jaringan. Beberapa dari sekian banyak produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamnin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reak¬si sistem komplemen (yang dijelaskan di Bab 34), produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (bagian dari sistem imun juga dibicarakan di Bab 34). Beberapa dari substansi ini dapat mengaktifkan sistem makrofag dengan kuat, dan dalam waktu beberapa jam, makrofag mulai melahap jaringan yang telah dihan¬curkan. Tetapi pada suatu saat, makrofag selanjutnya juga dapat mencederai sel-sel jaringan yang masih hidup.
Pembatasan (“Walling Off”) Efek Peradangan. Salah satu efek pertama dari peradangan adalah pem¬batasan (“wall off”) area yang cedera dari sisa jaringan yang tidak, mengalami radang. Ruang jaringan dan cairan limfatik di daerah yang. meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga untuk sementara waktu hampir tidak ada cairan yang melintasi ruangan. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau produk toksik.
Intensitas proses peradangan biasanya sebanding dengan derajat cedera. jaringan. Contohnya, ketika sta¬filokokus yang memasuki jaringan melepaskan banyak sekali toksin yang mematikan sel-sel. Akibatnya, tim¬bul peradangan dengan cepat bahkan, jauh lebih cepat daripada kemampuan stafilokokus untuk menggandakan diri dan melakukan penyebaran. Jadi, infeksi stafilokokus setempat ditandai dengan cepat4ya pembentukan dinding pembatas dan pencegahan penyebaran ke seluruh tubuh. Sebaliknya, streptokokus tidak menimbulkan kerusakan jaringan lokal yang hebat. Sehingga, proses pembentukan dinding pembatas berjalan lamban selama beberapa jam, sementara banyak streptokokus yang berkembang biak dan bermigrasi. Akibatnya, streptokokus sering kali lebih cenderung menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan kematian daripada stafilokokus, walaupun sebenarnya stafilokokus jauh lebih merusak jaringan.


E. Respons Makrofag dan Netrofil Selama Peraclangan
Makrofag Jaringan Sebagai Uni Pertahanan Pertama Melawan Infeksi. Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada di dalam jaringan, berupa histiosit di jaringan subkutan, makrofag alveolus di paru, mikroglia di otak, atau yang lainnya, dan segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk infeksi dan peradangan, efek yang mula-mula ter¬jadi adalah pembengkakan setiap sel-sel ini dengan cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang, sebelumnya terikat kemudian lepas dari pelekatannya dan menjadi mobil, membentuk lini pertama pertahanan tubuh terhadap in¬feksi selama beberapa jam pertama. Jumlah makrofag yang mengalami mobilisasi dini ini sering kali tidak ba¬nyak tetapi. dapat menyelamatkan jiwa
Invasi Netrofil ke Daerah Peradangan Sebagai Lini Pertahanan Kedua. Dalam beberapa jam pertama setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan berasal dari jaringan yang meradang akan memicu reaksi berikut: (1) Produk terse¬but mengubah permukaan, bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding, kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut marginasi, dan di¬tunjukkan pada Gambar 32-2. (2) Produk ini menyebab¬kan longgamya pelekatan interseluler antara sel endotel kapiler dan sel endotel venula kecil sehingga, terbuka cu¬kup lebar, dan memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari darah ke dalam ru¬ang jaringan. (3) Produk peradangan lainnya akan menye¬babkan kemotaksis netrofil menuju jaringan yang cedera, seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Jadi, dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat tersebut akan diisi oleh ne¬trofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur, maka sel-sel tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh bakteri dan menyingkirkan bahan-bahan Asing.
Peningkatan Akut Jumlah Netrofil dalam Da¬rah—”Netrofilics”. Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akut yang berat, jumlah netrofil di da¬lam darah kadang-kadang meningkat, sebanyak empat sampai lima kali lipat dari jumlah normal (4000 sampai 5000) menjadi 15.000 sampai 25.000 netrofil per mikro¬liter. Keadaan ini disebut netrofilia, yang berarti terjadi peningkatan jumlah netrofil dalam darah. Netrofilia di¬sebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian diangkut ke sumsum tulang, dan di situ bekerja pada netrofil yang tersimpan dalam sumsum un¬tuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal ini membuat lebih banyak lagi netrofil yang tersedia di area jaringan yang meradang.
Invasi Mokrofag Kedua ke Jaringan Inflamasi Sebagai Lini Pertahanan Ketiga. Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaring¬an yang meradang dan membesar menjadi makrofag. Namun, jumlah monosit dalam sirkulasi darah sedikit: tempat penyimpanan monosit di sumsum tulang juga jauh lebih sedikit daripada netrofil. Oleh karena itu, pembentuk¬an makrofag di area jaringan yang meradang jauh lebih lambat daripada netrofil, dan memerlukan waktu bebera¬pa hari supaya menjadi efektif Selanjutnya, bahkan se¬telah menginvasi jaringan yangmeradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk membengkak ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang sangat ba¬nyak; barulah kemudian mencapai kapasitas penuh seba¬gai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari sampai beberapa minggu, makro¬fag akhirnya datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang meradang, karena produksi monosit baru yang sangat meningkat dalam sumsum tulang, seperti yang di¬bahas kemudian.
Seperti yang telah dijelaskan, makrofag dapat mem¬fagositosis jauh lebih banyak bakteri (kira-kira lima kali lebih banyak) dan partikel yang jauh lebih besar, bahkan termasuk netrofil itu sendiri dan sejumlah besar jaringan nekrotik, daripada yang dapat dilakukan oleh netrofil. Makrofag juga berperan penting dalam memicu pemben¬tukan antibodi, seperti yang dibicarakan di Bab 34.
Peningkatan Produksi Granulosit dan Monosit oleh Sumsum Tulang Sebagai Lini Pertahanan Keempat. Lini pertahanan tubuh yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan monosit oleh sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor granulositik dan monositik di sumsum. Namun, hal tersebut memerlukan waktu 3 sampai 4 hari sebelum, granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap meninggalkan sumsum tulang. Jika te¬rus menerus terdapat perangsangan dari jaringan yang meradang, maka sumsum tulang dapat terus menerus memproduksi sel-sel ini dalam jumlah yang banyak se¬kali selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, kadang-kadang dengan kecepatan-produksi 20 sampai 50 kali di atas normal.
Pengaturan Umpan Balik Terhadap Respons Makrofag dan Netrofil
Walaupun terdapat lebih dari dua lusin faktor yang terlibat dalam pengaturan respons makrofag terhadap peradang¬an, lima di antaranya dipercaya memiliki peran yang do¬minan. Faktor-faktor ini diperlihatkan pada Gambar 33-6 dan terdiri dari (I) faktor nekrosis tumor (TNF), (2) inter¬leukin-1 (IL-1), (3) faktor perangsang-koloni granulosit¬monosit (GM-CSF), (4) faktor perangsang-koloni granu¬losit (G-CSF), dan (5) faktor perangsang-koloni monosit (M-CSF). Faktor-faktor ini dibentuk oleh sel makrofag yang teraktivasi di jaringan yang meradang, dan sebagian kecil dibentuk oleh sel-sel jaringan yang meradang.

GAMBAR 33-6. Pengaturan produksi granulosit dan monosit ¬makrofag oleh sumsum tulang sebagai respons terhadap berbagai faktor pertumbuhan yang dilepaskan dari makrograf yang teraktivasi dalam jaringan yang meradang. G-CSF, faktor perangsang-koloni granulosit; GM-CSF, faktor perangsang-koloni granulosit-monosit; IL-1, interleukin-1; M-CSF, faktor perangsang-koloni monosit; TNF, faktor nekrosis tumor.
Penyebab peningkatan produksi granulosit dan mo¬nosit oleh sumsum tulang ini terutama adalah tiga fak¬tor perangsang-koloni, satu di antaranya, GM-CSF, me¬rangsang produksi granulosit maupun monosit; dan dua lainnya, G-CSF dan M-CSF, berturut-turut merangsang granulosit dan monosit. Kombinasi antara TNF, IL-1, dan faktor perangsang-koloni merupakan mekanisme umpan balik yang kuat yang dimulai dengan peradangan jaringan, kemudian berlanjut membentuk sejumlah besar sel darah putih pertahanan yang membantu untuk menghilangkan penyebab radang.
Pembentukan Pus
Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bak¬teri dan jaringan nekrotik, pada dasarnya semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati. Sesu¬dah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cair¬an jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi dapat ditekan, sel-sel mati dan ja¬ringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara bertahap akan mengalami autolisis dalam waktu beberapa hari, dan kemudian produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam ja¬ringan sekitar dan cairan limfe hingga sebagian besar tan¬da kerusakan jaringan telah hilang.